BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang.
Pada umumnya kematian terjadi setelah segera setelah
injury dimana terjadi trauma langsung pada kepala, atau perdarahan yang hebat
dan syok. Kematian yang terjadi dalam beberapa jam setelah trauma disebabkan
oleh kondisi klien yang memburuk secara progresif akibat perdarahan internal.
Pencatatan segera tentang status neurologis dan intervensi surgical merupakan
tindakan kritis guna pencegahan kematian pada phase ini. Kematian yang terjadi
3 minggu atau lebih setelah injury disebabkan oleh berbagai kegagalan sistem
tubuh.
Faktor 2 yang diperkirakan memberikan prognosa yang jelek
adalah adanya intracranial hematoma, peningkatan usia klien, abnormal respon
motorik, menghilangnya gerakan bola mata dan refleks pupil terhadap cahaya,
hipotensi yang terjadi secara awal, hipoksemia dan hiperkapnea, peningkatan
ICP. Diperkirakan terdapat 3 juta orang di AS mengalami trauma kepala pada
setiap tahun. Angka kematian di AS akibat trauma kepala sebanyak 19.3/100.000
orang. Pada umumnya trauma kepala disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas atau
terjatuh.
Oleh
karena itulah kami menyusun Makalah ini,yang nantinya akan memberikan Informasi
serta pengetahuan yang lebih dalam lagi mengenai Cidera Kepala dan Prosedur Pemberian Asuhan keperawatan bagi pasien
yang menderita Cidera kepala.
1
|
B.
Tujuan.
Adapun Tujuan dari Penyusunan Makalah
Asuhan keperawatan pada klien Cidera Kepala adalah:
1. Tujuan
Umum.
a. Agar
perawat khususnya Mahasiswa keperawatan mengetahui cara pemberian Asuhan
keperawatan pada klien dengan Cidera kepala.
b. Menambah
wawasan akan bagaimana Prosedur dalam penanganan bagi pasien dengan Cidera
Kepala.
2. Tujuan
Khusus.
a. Memberikan
Informasi atau pengetahuan kepada Mahasiswa keperawatan Mengenai Manifestasi
klinis serta Komplikasi pada klien Cidera kepala.
b. Sebagai
Tugas dari Mata Kuliah Sistem Neurobihavior 1.
C.
Rumusan
Masalah.
Adapun
Rumusan masalah yang kami paparkan dalam makalah ini yaitu:
1. Definisi
Cedera Kepala?
2. Gejala-gejala
Pada Klien dengan Cedera Kepala?
3. Patofisiologi
Cedera Kepala?
4. Komplikasi
yang mungkin terjadi pada klien Cedera Kepala?
5. Klasifikasi
Cedera kepala?
6. Pemeriksaan
Penunjang bagi klien Cedera Kepala?
7.
2
|
BAB II
LANDASAN TEORI
A.
Definisi.
Cidera
kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau
tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak.
Cedera
kepala yaitu adanya deformitas berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan
garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi –
descelarasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan
peningkatan pada percepatan factor dan penurunan percepatan, serta rotasi yaitu
pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada
tindakan pencegahan.
Cedera
kepala pada dasarnya dikenal dua macam mekanisme trauma yang mengenai kepala
yakni benturan dan goncangan (Gernardli and Meany, 1996).
B. Klasifikasi.
Klasifikasi
trauma kepala berdasarkan Nilai Skala
Glasgow (SKG):
- Minor
·
SKG 13 – 15
·
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau
amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
·
Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada
fraktur cerebral, hematoma.
- Sedang
·
SKG 9 – 12
·
Kehilangan kesadaran dan atau amnesia
lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.
·
Dapat mengalami fraktur tengkorak.
2
|
- Berat
·
SKG 3 – 8
·
Kehilangan kesadaran dan atau terjadi
amnesia lebih dari 24 jam.
·
Juga meliputi kontusio serebral,
laserasi, atau hematoma intrakranial.
C.
Tanda
dan Gejala.
1) Pola
pernafasan.
Pusat pernafasan diciderai oleh
peningkatan TIK dan hipoksia, trauma langsung atau interupsi aliran darah. Pola
pernafasan dapat berupa hipoventilasi alveolar, dangkal.
2) Kerusakan
mobilitas fisik.
Hemisfer atau hemiplegi akibat kerusakan
pada area motorik otak.
3) Ketidakseimbangan
hidrasi.
Terjadi karena adanya kerusakan kelenjar
hipofisis atau hipotalamus dan peningkatan TIK.
4) Aktifitas
menelan.
Reflek melan dari batang otak mungkin
hiperaktif atau menurun sampai hilang sama sekali.
5) Kerusakan
komunikasi.
Pasien mengalami trauma
yang mengenai hemisfer serebral menunjukkan disfasia, kehilangan kemampuan
untuk menggunakan bahasa.
- Manifestasi Klinis
a)
Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit
atau lebih
b)
Kebingungan
c)
Iritabel
d)
Pucat
e)
3
|
f)
Pusing kepala
g)
Terdapat hematoma
h)
Kecemasan
i)
Sukar untuk dibangunkan
j)
Bila fraktur, mungkin adanya ciran
serebrospinal yang keluar dari hidung (rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila
fraktur tulang temporal.
E.
Patofisiologi.
Cedera memegang peranan yang sangat
besar dalam menentukan berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu
trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang
bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda
tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi)
adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti
badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan
bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang
terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa
dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan
trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
Cedera primer, yang terjadi pada
waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi
alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat
terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada
area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada
area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua
menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan
intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak
sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.
4
|
F.
Trauma kepala
|
5
|
Ekstra kranial
|
Tulang kranial
|
Intra kranial
|
Terputusnya
kontinuitas jaringan kulit, otot dan vaskuler
|
Terputusnya
kontinuitas jaringan tulang
|
Jaringan otak
rusak (kontusio, laserasi)
|
Gangguan suplai
darah
|
Resiko infeksi
|
Nyeri
|
Iskemia
|
-
Perdarahan
-
hematoma
|
Hipoksia
|
Perubahan perfusi jaringan
|
kejang
|
Perubahan sirkulasi CSS
|
Gangg. Fungsi otak
|
Gangg. Neurologis fokal
|
-
Bersihan jln nafas
-
Obstruksi jln. Nafas
-
Dispnea
-
Henti nafas
-
Perubahan. Pola nafas
|
Peningkatan TIK
|
-
Mual-muntah
Papilodema
Pandangan kabur
Penurunan fungsi pendengaran
Nyeri kepala
|
Defisit neurologis
|
Girus medialis lobus temporalis tergeser
|
Resiko kurangnya volume cairan
|
Gangg. Persepsi sensori
|
Herniasi unkus
|
Tonsil cerebrum tergeser
|
Kompresi medula oblongata
|
Messenfalon tertekan
|
Resiko injuri
|
immobilitasi
|
cemas
|
Resiko gangg. Integritas kulilt
|
Kurangnya perawatan diri
|
Gangg. kesadaran
|
G. Komplikasi.
ü Hemorrhagie
ü Infeksi
ü Edema
ü Herniasi
ü kejang
H. Pemeriksaan
penunjang.
Pemeriksaan
Diagnostik:
a) CT
Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan
ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
b) Angiografi
serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan
otak akibat edema, perdarahan, trauma.
c) X-Ray:
mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan / edema), fragmen tulang.
d) Analisa
Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika
terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
e) Elektrolit:
untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan
intrakranial.
I. Penata7laksanaan.
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien
dengan trauma kepala adalah sebagai berikut:
1. Observasi
24 jam
2. Jika
pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
3. Berikan
terapi intravena bila ada indikasi.
4. Anak
diistirahatkan atau tirah baring.
5. Profilaksis
diberikan bila ada indikasi.
6. Pemberian
obat-obat untuk vaskulasisasi.
7. Pemberian
obat-obat analgetik.
6
|
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian.
1.
Riwayat kesehatan: waktu kejadian,
penyebab trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran saat kejadian,
pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.
2.
Pemeriksaan fisik
a. Sistem
respirasi : suara nafas, pola nafas (kus maull, cheyene stokes, biot,
hiperventilasi, ataksik)
b. Kardiovaskuler
: pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
c. Sistem
saraf :
Ø Kesadaran
à
GCS.
Ø Fungsi
saraf kranial à
trauma yang mengenai/meluas ke batang otak akan melibatkan penurunan fungsi
saraf kranial.
Ø Fungsi
sensori-motor à
adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri, gangguan diskriminasi suhu, anestesi,
hipestesia, hiperalgesia, riwayat kejang.
d. Sistem
pencernaan
Ø Bagaimana
sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan, kemampuan mengunyah, adanya
refleks batuk, mudah tersedak. Jika pasien sadar à tanyakan pola
makan?
Ø Waspadai
fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan.
Ø Retensi
urine, konstipasi, inkontinensia.
e. Kemampuan
bergerak : kerusakan area motorik à
hemiparesis/plegia, gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot.
f. Kemampuan
komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan à disfagia atau
afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
g. Psikososial
à
data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien dari keluarga.
7
|
B. Diagnosa.
Diagnosa
keperawatan yang mungkin timbul adalah:
- Resiko tidak efektifnya bersihan jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya tekanan intrakranial.
- Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial.
- Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya kesadaran.
- Resiko kurangnya volume cairan berhubungan mual dan muntah.
- Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya tekanan intrakranial.
- Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.
- Resiko infeksi berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.
- Kecemasan orang tua-anak berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.
- Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi.
C. Intervensi Keperawatan.
1. Resiko
tidak efektifnya jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan
gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya
tekanan intrakranial.
Tujuan:
Pola nafas dan bersihan jalan nafas efektif yang ditandai dengan tidak ada
sesak atau kesukaran bernafas, jalan nafas bersih, dan pernafasan dalam batas
normal.
Intervensi:
-
Kaji Airway, Breathing, Circulasi.
-
8
|
-
Pastikan jalan nafas tetap terbuka dan
kaji adanya sekret. Bila ada sekret segera lakukan pengisapan lendir.
-
Kaji status pernafasan kedalamannya,
usaha dalam bernafas.
-
Bila tidak ada fraktur servikal berikan
posisi kepala sedikit ekstensi dan tinggikan 15 – 30 derajat.
-
Pemberian oksigen sesuai program.
- Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial.
Tujuan:
Perfusi jaringan serebral adekuat yang ditandai dengan tidak ada pusing hebat,
kesadaran tidak menurun, dan tidak terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan
intrakranial.
Intervensi:
-
Tinggikan posisi kepala 15 – 30 derajat
dengan posisi “midline” untuk menurunkan tekanan vena jugularis.
-
Hindari hal-hal yang dapat menyebabkan
terjadinya
Ø peningkatan
tekanan intrakranial: fleksi atau hiperekstensi pada leher, rotasi kepala,
valsava meneuver, rangsangan nyeri, prosedur (peningkatan lendir atau suction,
perkusi).
Ø tekanan
pada vena leher.
Ø pembalikan
posisi dari samping ke samping (dapat menyebabkan kompresi pada vena leher).
-
Bila akan memiringkan anak, harus
menghindari adanya tekukan pada anggota badan, fleksi (harus bersamaan).
-
Berikan pelembek tinja untuk mencegah
adanya valsava maneuver.
-
Hindari tangisan pada anak, ciptakan
lingkungan yang tenang, gunakan sentuhan therapeutic, hindari percakapan yang
emosional.
-
9
|
-
Pemberian terapi cairan intravena dan
antisipasi kelebihan cairan karena dapat meningkatkan edema serebral.
-
Monitor intake dan out put.
-
Lakukan kateterisasi bila ada indikasi.
-
Lakukan pemasangan NGT bila indikasi
untuk mencegah aspirasi dan pemenuhan nutrisi.
-
Libatkan orang tua dalam perawatan anak
dan jelaskan hal-hal yang dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
3. Kurangnya
perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya kesadaran.
Tujuan:
Kebutuhan sehari-hari anak terpenuhi yang ditandai dengan berat badan stabil
atau tidak menunjukkan penurunan berat
badan, tempat tidur bersih, tubuh anak bersih, tidak ada iritasi pada kulit,
buang air besar dan kecil dapat dibantu.
Intervensi:
-
Bantu anak dalam memenuhi kebutuhan
aktivitas, makan – minum, mengenakan pakaian, BAK dan BAB, membersihkan tempat
tidur, dan kebersihan perseorangan.
-
Berikan makanan via parenteral bila ada
indikasi.
-
Perawatan
kateter bila terpasang.
-
Kaji adanya konstipasi, bila perlu
pemakaian pelembek tinja untuk memudahkan BAB.
-
Libatkan orang tua dalam perawatan
pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan demonstrasikan, seperti bagaimana cara
memandikan anak.
4.
10
|
Tujuan:
Tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan volume cayran atau dehidrasi yang
ditandai dengan membran mukosa lembab, integritas kulit baik, dan nilai
elektrolit dalam batas normal.
Intervensi:
-
Kaji intake dan out put.
-
Kaji tanda-tanda dehidrasi: turgor kulit, membran mukosa, dan ubun-ubun atau mata cekung dan out put
urine.
-
Berikan cairan intra vena sesuai
program.
5. Resiko
injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya tekanan
intrakranial.
Tujuan:
Anak terbebas dari injuri.
Intervensi:
-
Kaji status neurologis anak: perubahan
kesadaran, kurangnya respon terhadap nyeri, menurunnya refleks, perubahan
pupil, aktivitas pergerakan menurun, dan kejang.
-
Kaji tingkat kesadaran dengan GCS
-
Monitor tanda-tanda vital anak setiap
jam atau sesuai dengan protokol.
-
Berikan istirahat antara intervensi atau
pengobatan.
-
Berikan analgetik sesuai program.
6. Nyeri
berhubungan dengan trauma kepala.
Tujuan:
Anak akan merasa nyaman yang ditandai dengan anak tidak mengeluh nyeri, dan
tanda-tanda vital dalam batas normal.
11
|
Intervensi:
-
Kaji keluhan nyeri dengan menggunakan
skala nyeri, catat lokasi nyeri, lamanya, serangannya, peningkatan nadi, nafas
cepat atau lambat, berkeringat dingin.
-
Mengatur posisi sesuai kebutuhan anak
untuk mengurangi nyeri.
-
Kurangi rangsangan.
-
Pemberian obat analgetik sesuai dengan
program.
-
Ciptakan lingkungan yang nyaman termasuk
tempat tidur.
-
Berikan sentuhan terapeutik, lakukan
distraksi dan relaksasi.
7. Resiko
infeksi berhubungan dengan adanya injuri.
Tujuan:
Anak akan terbebas dari infeksi yang ditandai dengan tidak ditemukan
tanda-tanda infeksi: suhu tubuh dalam batas normal, tidak ada pus dari luka,
leukosit dalam batas normal.
Intervensi:
-
Kaji adanya drainage pada area luka.
-
Monitor tanda-tanda vital: suhu tubuh.
-
Lakukan perawatan luka dengan steril dan
hati-hati.
-
Kaji tanda dan gejala adanya meningitis,
termasuk kaku kuduk, iritabel, sakit kepala, demam, muntah dan kenjang.
8. Kecemasan
orang tua berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.
Tujuan:
Anak dan orang tua akan menunjukkan rasa cemas berkurang yang ditandai dengan
tidak gelisah dan orang tua dapat mengekspresikan perasaan tentang kondisi dan
aktif dalam perawatan anak.
12
|
Intervensi:
-
Jelaskan pada anak dan orang tua tentang
prosedur yang akan dilakukan, dan tujuannya.
-
Anjurkan orang tua untuk selalu berada di
samping anak.
-
Ajarkan anak dan orang tua untuk
mengekspresikan perasaan.
-
Gunakan komunikasi terapeutik.
9. Resiko
gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi.
Tujuan:
Tidak ditemukan tanda-tanda gangguan integritas kulit yang ditandai dengan
kulit tetap utuh.
Intervensi:
-
Lakukan latihan pergerakan (ROM).
-
Pertahankan posisi postur tubuh yang
sesuai.
-
Rubah posisi setiap 2 jam sekali atau
sesuai dengan kebutuhan dan kondisi anak.
-
Kaji area kulit: adanya lecet.
-
Lakukan “back rub” setelah mandi di area yang potensial menimbulkan lecet
dan pelan-pelan agar tidak menimbulkan nyeri.
13
|
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan.
Cidera
kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau
tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak.
Cedera
kepala yaitu adanya deformitas berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan
garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi –
descelarasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan
peningkatan pada percepatan factor dan penurunan percepatan, serta rotasi yaitu
pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada
tindakan pencegahan.
B.
Saran.
Guna sempurnanya
makalah kami ini,kami sangat mengaharapkan kritik dan saran dari Rekan-rekan
kelompok lain serta dari Dosen Pembimbing.
14
|
DAFTAR PUSTAKA
1.
Suriadi &
Rita Yuliani. Asuhan Keperawatan Pada
Anak, Edisi I.
Jakarta: CV
Sagung Seto; 2001.
2.
Hudak &
Gallo. Keperawatan Kritis, Pendekatan
Holistik, Volume II. Jakarta:
EGC; 1996.
3.
Cecily LB &
Linda AS. Buku Saku Keperawatan Pediatrik.
Edisi 3. Jakarta:
EGC; 2000.
4.
Suzanne CS &
Brenda GB. Buku Ajar Medikal Bedah.
Edisi 8. Volume 3. Jakarta:
EGC; 1999.
5.
15
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar