Rabu, 25 April 2012

asuhan keperawatan meningitis


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Meningitis tergolong penyakit serius dan bisa mengakibatkan kematian. Penderita meningitis yang bertahan hidup akan menderita kerusakan otak sehingga lumpuh, tuli, epilepsi, retardasi mental.
Penyakit meningitis dan pneumonia telah membunuh jutaan balita di seluruh dunia. Data WHO menunjukkan bahwa dari sekitar 1,8 juta kematian  anak balita di seluruh dunia setiap tahun, lebih dari 700.000 kematian anak terjadi di negara kawasan Asia Tenggara dan Pasifik Barat.
Ada tiga bakteri penyebab meningitis, yaitu Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae tipe b, dan Niesseria meningitides. Dari ketiga bakteri itu, Streptococcus pneumoniae (pneumokokus) adalah bakteri yang paling sering menyerang bayi di bawah usia 2 tahun. Masa inkubasi (waktu yang diperlukan untuk menimbulkan gejala penyakit) kuman tersebut sangat pendek yakni sekitar 24 jam. Bakteri pneumokokus adalah salah satu penyebab meningitis terparah. Penelitian yang diungkapkan konsultan penyakit menular dari Leicester Royal Infirmary, Inggris, Dr Martin Wiselka, menunjukkan bahwa 20-30 persen pasien meninggal dunia akibat penyakit tersebut, hanya dalam waktu 48 jam. Angka kematian terbanyak pada bayi dan orang lanjut usia. Pasien yang terlanjur koma ketika dibawa ke rumah sakit, sulit untuk bisa bertahan hidup. Infeksi pneumokokus lebih sering terjadi pada anak dibanding orang dewasa karena tubuh anak belum bisa memproduksi antibodi yang dapat melawan bakteri tersebut.
Sebanyak 50 persen pasien meningitis yang berhasil sembuh biasanya menderita kerusakan otak permanen yang berdampak pada kehilangan pendengaran, kelumpuhan, atau keterbelakangan mental. Komplikasi penyakit tersebut akan timbul secara perlahan dan semakin parah setelah beberapa bulan.






B.    TUJUAN
1. TUJUAN UMUM
Tujuan umum penulis dalam menyusun makalah ini adalah untuk mendukung kegiatan belajar-mengajar jurusan keperawatan khususnya pada mata kuliah keperawatan Neurobehavior II tentang asuhan keperawatan klien dengan infeksi dan inflamasi system saraf pusat.

2. TUJUAN KHUSUS
Tujuan khusus penulis dalam menyusun makalah ini agar mahasiswa mengetahui bagaimana asuhan keperawatan klien dengan infeksi dan inflamasi  system saraf pusat: Meningitis, mengetahui penyebab,  tanda dan gejala, komplikasi yang mungkin terjadi, serta penatalaksanaan dari klien yang mengalami meningitis.

C.   RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dari meningitis.
2. Bagaimana penyebab terjadinya meningitis.
3. Bagaimana patofisiologi meningitis.
4. Apa saja tanda dan gejala dari meningitis.
5. Bagaimana penatalaksanaan medis untuk klien meningitis.
6. Bagaimana asuhan keperawatan pada klien yang mengalami meningitis.















BAB II
ISI

KONSEP DASAR PENYAKIT
I.          DESKRIPSI
Secara anatomi meningen menyelimuti otak dan medulla spinalis. Selaput otak terdiri atas tiga lapisan dari luar kedalam yaitu duramater, arakhnoid, dan piamater. Duramater terdiri dari lapisan yang berfungsi kecuali di dalam tulang tengkorak, dimana lapisan terluarnya melekat pada tulang dan terdapat sinus venosus.
 Falks serebri adalah lapisan vertikel dura meter yang memisahkan kedua hemisfer serebri pada garis tengah. Tentorium serebri adalah ruang horizontal dari dura meter yang memisahkan lobus oksipitalis dari serebellum. Arakhnoid merupakan membrane lembut yang bersatu di tempatnya dengan pia meter, diantaranya terdapat ruang subarachnoid dimana terdapat arteri dan vena serebri dan dipenuhi oleh cairan serebrospinal. Sisterna magna adalah bagian terbesar dari ruang subarachnoid di sebelah belakang otak belakang, memenuhi celah di antara serebellum dan medulla oblongata.
Pia meter merupakan membrane halus yang kaya akan pembuluh darah kecil yang menyuplai darah ke otak dalam jumlah yang banyak. Pia meter adalah lapisan yang langsung melekat dengan permukaan otak dan seluruh medulla spinalis.
Secara singkat pengertian dari meningitis adalah radang pada meningen/membrane (selaput) yang mengelilingi otak dan medulla spinalis.

II.        ETIOLOGI
Penyebab-penyebab dari meningitis meliputi:
1. Bakteri piogenik yang disebabkan oleh bakteri pembentuk pus, terutama meningokokus, pneumokokus, dan hasil influenza.
2. Virus yang disebabkan oleh agen-agen virus yang sangat bervariasi.
3. Organisme jamur.


III.      KLASIFIKASI
Meningitis diklasifikasikan sesuai dengan factor penyebabnya:
1. Asepsis
Meningitis asepsis mengacu pada salah satu meningitis virus atau menyebabkan iritasi meningen yang di sebabkan oleh abses otak, ensefalitis, limfoma, leukemia, ataui darh di ruang subarachnoid.
2. Sepsis
Meningitis sepsis menunjukkan meningitis yang disebabkan oleh organism bakteri seperti meningokokus, stafilokokus, atau basilus influenza.
3. Tuberkulosa
Meningitis tuberkulosa disebabkan oleh basilus tuberkel.

Infeksi meningen umumnya dihubungkan dengan satu atau dua jalan, yaitu melalui salah satu aliran darah sebagai konsekuensi dari infeksi-infeksi bagian lain, seperti selulitis, atau melalui penekanan langsung seperti didapat setelah cedera traumatic tulanh wajah. Dalam jumlah kecil pada beberapa kasus merupakan iatrogenic atau hasil sekunder prosedur invasive (seperti lumbal pungsi) atau alat-alat invasive (seperti alat pemantau TIK).

a. Meningitis virus
Tipe dari meningitis ini sering disebut meningitis aseptis. Tipe ini biasanya disebabkan oleh berbagai jenis penyakit yang disebabkan virus seperti gondok, herpes simpleks, dan herpes zooter. Eksudat yang biasanya terjadi pada meningitis bakteri tidak terjadi pada meningitis virus dan tidak ditemukan organisme pada kultur cairan otak. Peradangan terjadi pada seluruh korteks serebri dan lapisan otak. Mekanisme atau respons dari jaringan otak terhadap virus bervariasi bergantung padajenis sel yang terlibat.

b. Meningitis bacterial
Meningitis bacterial adalah suatu keadaan ketika meningens atau selaput dari otak mengalami peradangan akibat bakteri. Sampai saat ini, bentuk paling signifiakan dari meningitis adalah tipe bacterial. Bakteri paling sering dijumpai pada meningitis bakteri akut, yaitu Neiserria meningitidis (meningitis meningokokus), streptococcus pneumonia (pada dewasa), dan Haemophilus influenza (pada anak-anak dan dewasa muda). Ketiga organisme ini menyebankan sekitar 75% kasus meningitis bakteri. Bentuk penularannya melalui kontak langsung, yang mencakup droplet dan secret dari hidung dan tenggorokan yang membawa kuman (paling sering) atau infeksi dari orang lain. Akibatnyaa, banyak yang tidak berkembang menjadi infeksi tetapi menjadi menjadi pembawa (carrier). Insiden tertinggi pada meningitis disebabkan oleh bakteri gram negative yang terrjadi pada lansia sama seperti pada seseorang yang menjalani bedah saraf atau seseorang yang mengalami gangguan respons imun.

IV.     PATOFISIOLOGI
Otak dilapisi oleh tiga lapisan, yaitu : duramater, arachnoid, dan piamater. Cairan otak dihasilkan di dalam pleksus choroid ventrikel bergerak / mengalir melalui sub arachnoid dalam sistem ventrikuler dan seluruh otak dan sumsum tulang belakang, direabsorbsi melalui villi arachnoid yang berstruktur seperti jari-jari di dalam lapisan subarachnoid.
Organisme (virus / bakteri) yang dapat menyebabkan meningitis, memasuki cairan otak melaui aliran darah di dalam pembuluh darah otak. Cairan hidung (sekret hidung) atau sekret telinga yang disebabkan oleh fraktur tulang tengkorak dapat menyebabkan meningitis karena hubungan langsung antara cairan otak dengan lingkungan (dunia luar), mikroorganisme yang masuk dapat berjalan ke cairan otak melalui ruangan subarachnoid. Adanya mikroorganisme yang patologis merupakan penyebab peradangan pada piamater, arachnoid, cairan otak dan ventrikel.
Meningitis bakteri dimulai sebagai infeksi dari orofaring dan diikuti dengan septikemia, yang menyebar ke meningen otak dan medula spinalis bagian atas.
Faktor predisposisi mencakup infeksi jalan nafas bagian atas, otitis media, mastoiditis, anemia sel sabit dan hemoglobinopatis lain, prosedur bedah saraf baru, trauma kepala dan pengaruh imunologis. Saluran vena yang melalui nasofaring posterior, telinga bagian tengah dan saluran mastoid menuju otak dan dekat saluran vena-vena meningen; semuanya ini penghubung yang menyokong perkembangan bakteri.
Organisme masuk ke dalam aliran darah dan menyebabkan reaksi radang di dalam meningen dan di bawah korteks, yang dapat menyebabkan trombus dan penurunan aliran darah serebral. Jaringan serebral mengalami gangguan metabolisme akibat eksudat meningen, vaskulitis dan hipoperfusi. Eksudat purulen dapat menyebar sampai dasar otak dan medula spinalis. Radang juga menyebar ke dinding membran ventrikel serebral. Meningitis bakteri dihubungkan dengan perubahan fisiologis intrakranial, yang terdiri dari peningkatan permeabilitas pada darah, daerah pertahanan otak (barier oak), edema serebral dan peningkatan TIK.

V.       MANIFESTASI KLINIS
a. Sakit kepala dan demam (gejala awal yang sering)
b. Perubahan pada tingkat kesadaran dapat terjadi letargik, tidak responsif, dan koma.
c.  Iritasi meningen mengakibatkan:
- Rigiditas nukal (kaku leher). Upaya untuk fleksi kepala mengalami kesukaran karena adanya spasme otot-otot leher.
- Tanda kernik positip: ketika pasien dibaringkan dengan paha dalam keadan fleksi kearah abdomen, kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna.
- Tanda brudzinki : bila leher pasien di fleksikan maka dihasilkan fleksi lutut dan pinggul. Bila dilakukan fleksi pasif pada ekstremitas bawah pada salah satu sisi maka gerakan yang sama terlihat peda sisi ektremita yang berlawanan.
d. Mengalami foto fobia, atau sensitif yang berlebihan pada cahaya.
e. Kejang akibat area fokal kortikal yang peka dan peningkatan TIK akibat eksudat purulen dan edema serebral dengan tanda-tanda perubahan karakteristik tanda-tanda vital(melebarnya tekanan pulsa dan bradikardi), pernafasan tidak teratur, sakit kepala, muntah dan penurunan tingkat kesadaran.
f.   Adanya ruam merupakan ciri menyolok pada meningitis meningokokal.
g. Infeksi fulminating dengan tanda-tanda septikimia : demam tinggi tiba-tiba muncul, lesi purpura yang menyebar, syok dan tanda koagulopati intravaskuler diseminata.

VI.     KOMPLIKASI
1.   Hidrosefalus obstruktif
2.   MeningococcL Septicemia (mengingocemia)
3.   Sindrome water-friderichen (septik syok, DIC,perdarahan adrenal bilateral)
4.   SIADH (Syndrome Inappropriate Antidiuretic hormone)
5.   Efusi subdural
6.   Kejang
7.   Edema dan herniasi serebral
8.   Cerebral palsy
9.   Gangguan mental
10. Gangguan belajar


VII.    PENATALAKSANAAN MEDIS
Penatalaksanaan medis lebih bersifat mengatasi etiologi dan perawat perlu menyesuaikan dengan standar pengobatan sesuai tempat bekerja yang berguna sebagai bahan kolaborasi dengan tim medis. Secara ringkas penatalaksanaan pengobatan meningitis meliputi:
Pemberian antibiotic yang mampu melewati barier darah otak ke ruang subarachnoid dalam konsentrasi yang cukup untuk menghentikan perkembangbiakan  bakteri. Baisanya menggunakan sefaloposforin generasi keempat atau sesuai dengan hasil uji resistensi antibiotic agar pemberian antimikroba lebih efektif digunakan. Obat anti-infeksi (meningitis tuberkulosa):
·     Isoniazid 10-20 mg/kgBB/24 jam, oral, 2x sehari maksimal 500 mg selama 1 setengah tahun.
·     Rifampisin 10-15 mg/kgBB/24 jam, oral, 1 x sehari selama 1 tahun.
·     Streptomisin sulfat 20-40 mg/kgBB/24 jam, IM, 1-2 x sehari selama 3 bulan.

Obat anti-infeksi (meningitis bakterial):
·     Sefalosporin generasi ketiga
·     Amfisilin 150-200 mg/kgBB/24 jam IV, 4-6 x sehari
·     Klorafenikol 50 mg/kgBB/24 jam IV 4 x sehari.
                                
Pengobatan simtomatis:
·     Antikonvulsi, Diazepam IV; 0,2-0,5 mgkgBB/dosis, atau rectal: 0,4-0,6 mg/kgBB, atau fenitoin 5 mg/kgBB/24 jam, 3 x sehari atau Fenobarbital 5-7 mg/kgBB/24 jam, 3 x sehari.
·     Antipiretik: parasetamol/asam salisilat 10 mg/kgBB/dosis.
·     Antiedema serebri: Diuretikosmotik (seperti manitol) dapat digunakan untuk mengobati edema serebri.
·     Pemenuhan oksigenasi dengan O2.
·     Pemenuhan hidrasi atau pencegahan syok hipovolemik: pemberian tambahan volume cairan intravena.







ASUHAN KEPERAWATAN
A.   PENGKAJIAN
Pengkajian keperawatan meningitis meliputi: anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostic, dan pengkajian psikososial (pada anak perlu dikaji dampak hospitalisasi).

a.  Anamnesis, meliputi:
-    Identitas klien, antara lain: nama, jenis kelamin, umur, alamat, pekerjaan, agama, pendidikan, dsb.

-    Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien atau orang tua membawa anaknya untuk meminta pertolongan kesehatan adalah panas badan tinggi, kejang, dan penurunan tingkat kesadaran.

-    Riwayat Penyakit Saat Ini
Factor riwayat penyakit sangat penting diketahui untuk mengetahhui jenis kuman penyebab. Disisi harus ditanya dengan jelas tentang gejala yang timbul sepertyi kapan mulai serangan, sembuh, atau bertambah buruk. Pada pengkajiian klien meningitis, biasanya didapatkan keluhan yang berhubungan dengan akibat dari infeksi dan peningkatan TIK.
Keluhan gejala awaal tersebut biasanya sakit kepala dan demam. Sakit kepala dihubungkan dengan meningitis yang selalu berat dan sebagai akibat iritasi meningen. Demam umumnya ada dan tetap tinggi selama perjalanan penyakit. Keluhan kejang perlu mendapat perhatian untuk dilakukan pengkajian lebih mandalam, bagaiman sifat timbulnya kejang, stilus apa yang sering menimbulkan kejang, dan tindakan apa yang telah diberikan  dalam upaya menurunkan keluhan kejang tersebut.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan dengan meningitis bakteri. Disorientasi dan gangguan memori biasanya merupakan awal adanya penyakit. Perubahan yang terjadi bergantung pada beratnya penyakit, demikian pula respons individu etrhadap proses fisiologis. Keluhan perubahan peilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi latergi, tidak responsive, dan koma. Pengkajian lainnya yang perlu ditanyakan seperti riwayat selama menjalani perawatn di RS, pernahkah menjalani tindakan invasife yang memungkinkan masuknya kuman ke meningen terutama melalui pembuluh darah.
-    Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkah klien mengalami infeksi jalan nafas bagian atas, otitis media, mastoiditis, anemia sel sabit dan henoglobinopatis lain, tinbadak bedah saraf, riwayat trauma kepala, dan adanya pengaruh  immunologis pada masa sebelumnya. Riwayat sakit TB paru perlu ditanyakan pada klien terutama apabila ada keluhan batuk produktif dan pernah menjalani pengobatan obat antituberkulosis yang sangat berguna untuk mengidentifikasi meningitis tuberkulosa. Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien, seperti pemakaian obatkortikosteroid, pemakaian jenis-jenis antibiotic dan reaksinya (untuk menilai resistensi pemakaian antibiotik) dapat menambah komprehensifnya pengkajian. Pengkajian riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.

-    Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis klien meningitis meliputi beberapa dimensi yang memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Sebagian besar pangkajian ini dapat diselesaikan melalui interasi menyeluruh dengan klien dalam pelaksanaan pengkajian lain dengan member pernyataan dan tetap melakukan pengawasan sepanjang waktu untuk menentukan kelayakan ekspresi emosi dan pikiran. Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting  untuk menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengauhnya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga maupun masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul seperti ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktifitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (ganngguan citra tubuh). Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar bias digunakan klien selama masa stress meliputi kemampuan klien untuk mendiskusikan masalah kesehatan saat ini yang telah diketahui dan perubahan perilaku akibat  stress.
Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini memberi dampak pada status ekonomi klien, karena biaya perawatan  dan pengobatan mmemerlukan dana yang tidak sedikit. Perawat juga memasukkan pengkajian terhadap fungsi neurologis dengan dampak gangguan neurologis yang akan terjadi pada gaya hidup individu. Persfektif keperawatan dalam mengkaji terdiri atas dua masalah, yaitu keterbatasan yang diakibatkan oleh deficit neurologis dalam hubungannya dengan peran social klien dan rencana pelayanan yang akan mendukung adaftasi pada gangguan neurologis didalam system dukungan individu.
Pada pengkajian klien anak, perlu diperhatikan dampak hospitalisasi pada anak dan family center. Anak dengan meningitis sangat rentan terhadap tindakan invasive yang sering dilakukan untuk mengurangi keluhan  stress anak dan menyebabkan anak stress dan kurang kooperatif terhadap tindakan keperawatan dan medis. Pengkajian psikososial yang terbaik dilaksanakan saat mengoservasi anak-anak bermain atau selama berinteraksi dengan orang tua. Anak-anak sering kali tidak mampu untuk mengekspresikan perasaan  mereka dan cenderung untuk memperlihatkan masalah mereka melalui tingkah laku.

b.  Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamneesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan secara per system B3 (brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluha dari klien.
Pemeriksaan fisik dimulai dengan memeriksa TTV. Pada klien meningitis biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh lebih daru normal, yaitu 38-410 C, dimulai dari fase sistemik. Kemerahan, panas, kulit kering, berkeringat. Keadaan ini biasanya dihubungkan dengan proses inflamasi dan iritasi meningen yang sudah mengganggu pusat pengatur suhu tubuh. Penurunan denyut nadi terjadi berhubungan dengan tanda-tanda peningkatan TIK. Apabila disertai peningkatan frekuensi pernafasan sering  berrhubungan dengan  peningkatan laju metabolism umum dan adanya infeksi pada system pernafasan sebelum mengalami meningitis.  Tekanan darah biasanya normal atau meningkat karena tanda-tanda peningkatan TIK.

Ø B1 (BREATHING)
Inspeksi apakah klien batuk, produksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot bantu nafas, dan peningkatan prekuensi pernapasan yang sering didapatkan pada klien meningitis yang disertai adanya gangguan pada system pernapasan. Palpasi thoraks hanya dilakukan apabila terdapat deformitas pada tulang dada pada klien dengan efusi fpeura massif (jarang terjadi pada klien dengan meningitis). Auskultasi bunyi nafas tambahan sepetti ronkhi pada kien dengan meningitis tuberkulosa dengan penyebaran primer dari paru.

Ø B2 (BLOOD)
Pengkajian pada system kardiovaskuler terutama dilakukan pada klien meningitis pada tahap lanjut seperti apabila klien sudah mengalami renjatan (syok). Infeksi fulminating terjadi pada sekitar 10% klien dengan meningitis meningokokus, dengan tanda-tanda septicemia: demam tinggi yang tiba-tiba muncul, lesi purpura yang menyebar (sekitar wajah dan ekstremitas), syok, dan tanda-tanda koagulasi intravascular desiminata (disseminated intravascular coagulation-DIC). Kematian mungkin terjadi dalam beberapa jam setelah serangan infeksi.

Ø B3 (BRAIN)
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan focus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada system lainnya.
a. Tingkat kesadaran
Kualitas kesadaran kliien merupakan parameter yang paling mendasar dan parameter yang paling penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat kesadaran klien dan respons terhadap lingkungan adalah indicator paling sensitive untuk disfungsi system persarafan. Beberapa system digunakan untuk membuat peringkat perubahan dalam kewasspadaan dan kesadaran.
Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien meningitis biasanya berkisar pada tingkat latergi, stupor, dan semikomatosa. Apabila klien sudah mengalimi koma maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kasadaran klien dan bahan evaluasi untuk memantau pembarian asuhan keparawatan.

b. Fungsi serebri
Status mental: observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara klien dan observasi ekspesi wajah dan aktifitas motorik yang pada klien meningitis tahap lanjut biasanya status mental klien mengalami perubahan.



c. Pemeriksaan saraf cranial
Saraf I. Biasanya pada klien meningitis tiidak ada kelainan dan fungsi penciuman tidak ada kelainan.
Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal. Pemeriksaan papiledema mungkin didapatkan terutama pada meningitis supuratif disertai abses serebri dan efusi ssubdural yang menyebabkan terjadinya peningkatan TIK berlangsung lama.
 Saraf III,IV, dan VI. Pemeriksaan fungsi dan reaksi pupil pada klien meningitis yang tidak disertai penurunan kesadaran biasanya yanpa kelainan. Pada tahap lanjut meningitis yang telah mengganggu kesadaran, tanda-tanda perubahan dari fungsi dan reksi pupil akan didapatkan. Dengan alas an yang tidak diketahui, klien meningitis mengeluh mengalami fotofobia  atau sensitive yang berlebihan terhadap cahaya.
Saraf V. Pada klien meningitis umumnya tidak didapatkan paralisis pada otot wajah dan refleks kornea biasanya tidak ada kelainan.
Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris.
Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
Saraf IX dan X. kemampuan menelan baik.
Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Adanya usuha dari klien untuk melakukan fleksi leher dan kaku kuduk (rigiditas nukal).
Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra pengecapan normal.

d. System motorik
Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan koordinasi pada meningitis tahap  lanjut mengalami perubahan.

e. Pemeriksaan refleks 
Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, lagamentum atau periosteum derajat refleks pada respons normal. Refleks  patologis akan didapatkan pada klien meningitis dengan tingkat kesadaran koma. Adanya refleks  Babinski (+) merupakan tanda adanya lesi UMN.

f.   Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, kedutan saraf, dan distonia. Pada keadaan tertentu klien biasanya mengalami kejang umum, terutama pada anak dengan meningitis disertai peningkatan suhu tubuh yang tinggi. Kejang dan peningkatan TIK juga berhubungan dengan meningitis. Kejang terjadi sekunder akibat area fokal kortikal yang peka.

g. System sensorik
Pemeriksaan sensorik pada meningitis biasanya didapatkan sensasi raba, nyeri, dan suhu normal, tidak ada perasaan abnormal dipermukaan tubuh. Sensasi proprioseptif dan diskriminatif normal.
Pemeriksaan fisik lainnya terutama yang berhubungan dengan peningkatan TIK. Tanda-tanda peningkatan TIK sekunder akibat eksudat purulen dan edema serebri terdiri atas perubahan karakteristik tanda-tanda vital (melebarnya tekanan pulsa dan bradikardi), pernapasan tidak teratur, sakit kepala, muntah, dan penurunan tingkat kesadaran
Adanya ruang merupakan salah satu cirri yang menyolok pada meningitis meningokokal (neisseria meningitis). Sekitar setengah dari semua kloien dengan tipe meningitis, mengalami lesi-lesi pada kulit diantaranya ruam ptekia dengan lesi purpura sampai ekimosis pada daerah yang luas.
Iritasi meningen mengakibatkan sejumlah tanda yang mudah dikenali yang umumnya terlihat pada semua tipe meningitis. Tanda tersebut adalah rigiditas nukal, tanda kering (positif) dan adanya tanda brudzinski. Kaku kuduk adalah tanda awal adanya upaya untuk fleksi kepala mengalami kesukaran karena adanya spasme otot leher. Fleksi paksaan menyebabkan nyeri berat. Tanda pernig (positif) ketika klien dibaringkan dengan paha dalam keadaan fleksi kearah abdomen, kaki tidak dapat diekstgensikan sempurna.
Tanda brutzinski: tanda ini didapatkan bila leher klien difleksikan, maka dihasilnya fleksi lutut dan pinggul; bila didapatkan fleksi pasif, maka ekstremitas bawah pada salah satu sisi, maka gerakan yang sama terlihat pada sisi ekstremitas yang berlawanan.

Ø B4 (BLADDER)
Pemeriksaan pada system perkemihan biasanya didapatkan volume haluaran urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.

Ø B5 (BOWEL)
Mual sampai muntah karena peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan nutrrisi pada klien meningitis menurun karena anoreksia dan adanya kejang.

Ø B6 (BONE)
Adanya bengkak dan nyeri pada sendi-sendi besar (khususnya lutut dan pergelangan kaki). Ptekia dan lesi purpura yang didahului oleh ruam. Pada penyakit yang berat dapat ditemukan ekimosis yang besar pada wajah. Klien sering mengalami penurunan kekuatan otot dan kelemahan fisik secara umum sehingga mengganggu aktifitas hidup sehari-hari (ADL).

PENGKAJIAN PADA ANAK
Pengkajian pada anak sedikit berbeda dengan klien dewasa, hal ini disebabkan pengkajian anamnesis lebih banyak dengan orang tua dan pemeriksaan fisik berbeda karena belum sempurnanya organ pertumbuhan terutama pada neonatus.
Pengkajian yang didapatkan pada anak bergantung pada usia anak dan luasnya penyebaran infeksi di meningen.  Hal lainnya yang bmempengaruhi klinis pada anak adalah tipe organism yang menginvasi meningen dan seberapa besar keektifan pemberian terapi, dalam hal ini adalah jenis antibiotic yang di pakai sangat berpengruh terhadap gejala klinis pada anak. Untuk memudahkan penilaian klinis, gejala meningitis pada anak dibagi menjadi tiga meliputi anak, bayi, dan neonatus.
Pada anak, manifestasi klinisnya adalah timbul sakit secara tiba-tiba, adanya demam, sakit kepala, panas dingin, muntah, dan kejang-kejang. Anak menjadi cepat rewel dan agitasi serta dapat berkembang menjadi fotobia, delirium, halusinasi, tingkah laku yang agresif atau mengantuk, stupor, dan koma. Gejala atau gangguan pada pernapasan atau gangguan gastrointestinal seperti sesak nafas,muntah, dan diare. Tanda yang khas adalah adanya tahanan pada kepala jika difleksiakan, kaku leher, tanda krenig dan brudzinski (+). Akibat perfusi yang tidak optimal biasanya memberikan tanda klinis  seperti kulit dingin dan sianosis. Gejala lainnya yang lebih sfesipik seperti petekia/purpura pada kulit sering didapatkan apabila anak mengalami infeksi meningokokus (meningokoksemia), keluarnya cairan dari telinga merupakan gejala khas pada anak yang mengalami meningitis pneumokokus dan sinus dermal kongenital terutama disebabkan oleh infeksi E.colli.
Pada bayi, manifestasi klinis biasanya tampak pada anak umur 3 bulan sampai 2 tahun dan sering ditemukan adanya demam, nafsu makan menurun, muntah, rewel, mudah lelah, kejang-kejang, dan menangis meraung-raung. Tanda khas dikepala adalah fontanel menonjol. Kaku kuduk merupakan tanda meningitis pada anak, sedangkan tanda-tanda brutzinski dan krenig dapat terjadi namun lambat atau ada pada kasus meningitis tahap lanjut.
Pada neonatus, biasanya masih sukar untuk diketahui karena manifestasi klinisnya tidak jelas dan tidak spesifik, namun pada beberapa keadaan gejalanya mempunyai kemiripan dengan anak yang lebih besar, neonatus biasanya menolak untuk makan, kemampuan untuk menetek buruk, gangguan GI berupa muntah dan kadang-kadang ada diare. Tonus otot lemah, pergerakan dan kekuatan menangis melemah. Pada kasus lanjut terjadi hipotermia atau demam, ikterus, rewel, mengantuk, kejang-kejang, frekuensi napas tidak teratur/apnea, sianosis, penurunan berat badan, tanda fontanel menonjol mungkin ada atau tidak. Leher fleksibel, yaitu tidak didapatkan adanya kaku kuduk. Pada fase yang lebih berat terjadi kolaps kardiovaskuler, kejang, dan apnea biasanya terjadi bila tidak diobati atau tidak dilakukan tindakan yang cepat.

c.  Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostic rutin pada klien meningitis meliputi laboratorium klinik rutin (Hb, leukosit,LED, trombosit, retikulosit, glukosa) pemeriksaan faal hemostatis diperlukan untuk mengetahui sacera awal adanya DIC. Serum elektrolit dan serum glukosa dinilai untuk mengidentifikasi adanya ketidakseimbangan elektrolit terutama hiponatremia.

Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang khas pada meningitis adalah analisis cairan otak. Lumbal pungsi tidak bisa dikerjakan pada klien dengan peningkatan TIK. Analisis cairan otak diperiksa untuk mengetahui jumlah sel, protein, dan konsentrasi glukosa. Kadar glukosa darah dibandingkan dengan kadar glukosa cairan otak adalah 2/3 dari nilai serum glukosa dan pada klien meningitis kadar glukosa cairan otaknya menurun dari nilai normal.
 Untuk lebih spesifik mengetahui jennies mikroba, maka organism penyebab infeksi dapat diidentifikasi melalui kultur kuman pada cairan serebrospinal dan darah. Counter immune elektrophoresis (CIE) digunakan secara luas untuk mendeteksi antigen bakteri pada cairan tubuh, umumnya cairan serebrospinal dan urine.
Pemeriksaan lainnya diperlukan sesuai klinis klien meliputi foto Rontgen paru, CT scan kepala. CT scan dilakukan untuk menentukan adanya edema serebri atau penyakit saraf lainnya. Hasilnya biasanya normal, kecuali pada penyakit yang sudah sangat parah.
B.   DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.     Perubahan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan peradangan dan edema pada otak dan selaput otak.
2.     Risiko peningkatan TIK yang berhubungan dengan peningkatan volume intracranial, penekanan jaringan otak, dan edema serebri.
3.     Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan akumulasi secret, penurunan kemampuan batuk, dan perubahan tingkat kesadaran.
4.     Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan perubahan tingkat kesadaran, defresi pusat nafas diotak.
5.     Gangguan perfusi jaringan perifer yang berhubungan dengan infeksi meningokokus.
6.     Nyeri kepala yang berhubungan dengan iritasi selaput dan jaringan otak.
7.     Hipertemia yang berhubungan dengan inflamasi pada meningen dan peningkatan metabolism umum.
8.     Risiko tinggi deficit cairan tubuh yang berhubungan dengan muntah dan demam.
9.     Risiko perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan yang berhubungan dengan kektidakmampuan menelan, keadaan hipermetabolik.
10. Risiko tinggi cedera yang berhubungan dengan adanya kejang berulang, fiksasi kurang optimal.
11. Gangguan aktifitas sehari-hari yang berhubungan dengan kelemahan fisik umum.
12. Risiko tinggi koping individu dan keluarga tidak efektif yang berhubungan dengan prognosis penyakit, perubahan psiko-sosial, perubahan perspsi kognitif, perubahan actual dalam strukltur dan fungsi, ketidakberdayaan, dan merasa tidak ada harapan.
13. Cemas yang berhubungan dengan ancaman, kondisi sakit dan perubahan kesehatan.

C.   INTERVENSI
Perubahan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan peradangan dan edema pada otak dan selaput otak.
Tujuan: Dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan intervensi perfusi jaringa otak meningkat.
Criteria hasil: Tingkat kesadaran meningkat menjadi sadar, disorientasi negative, konsentrasi baik, perfusi  jaringan dan oksigenassi baik, TTV dalam batas normal, dan syok dapat dihindari.

Intervensi
Rasional
Anjurkan klien berbaring minimal 4-6 jam setelah lumbal pungsi.

Monitor tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial selama perjalanan penyakit (nadi lambat, TD meningkat, kesadaran menurun, nafas ireguler, refleks pupil menurun, kelemahan).

Monitor TTV dan neurologis tiap 5-30 menit. Catat dan laporkan segera perubahan-perubahan tekanan intra-cranial ke dokter.

Hindari posisi tungkai ditekuk atau gerakan-gerakan klien, anjurkan untuk tirah baring.

Tinggikan sedikit kepala klien dengan hati-hati, cegah gerakan yang tiba-tiba dan tidak perlu dari kepala dan leher, hindari fleksi leher.

Bantu seluruh aktivitas dan gerakan-gerakan klien. Anjurkan klien untuk menghembuskan nafas dalam bila miring dan bergerak ditempat tidur. Cegah posisi fleksi pada lutut.

Sesuaikan dan atur waktu prosedur perawatan dengan periode reelaxsasi; hidari rangsangan lingkungan yang tidak perlu.

Beri penjelasan kepada klien tentang keadaa n lingkungan.

Evaluasi selama masa penyembuhan terhadap gangguan motorik, sensorik dan intelektual.

Kolaborasi pemberian steroid osmotic.

Mencegah nyeri kepala yang menyertai perubahan tekanan intracranial.

Mendeteksi tanda-tanda syok.





Perubahan-perubahan ini manandakan ada perubahan tekanan intracranial dan penting untuk intervensi awal.


Mencegah peningkatan tekanan intracranial.



Mengurangi tekanan intracranial.




Mencegah keregangan otot yang dapat menimbulkan peningkatan tekanan intracranial.



Mencegah eksitasi yang merangsang otak yang sudah iritasi dan dapat menimbulkan kejang.


Mengurangi disorientasi dan untuk klarifikasi persefsi sensorik yang terganggu.

Untuk merujuk ke rehabilitasi.



Menurunkan tekanan intracranial.


Resiko peningkatan TIK yang berhubungan dengan peningkatan volume intracranial, penekanan jaringan otak, dan edema serebri.
Tujuan: tidak terjadi peningkatan TIK pada klien dalam waktu 3x24 jam.
Kriterria hasil: Klien tidak gelisah, klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual-mual dan muntah, GCS: 4,5,6, tidak terdapat papil edema, TTV dalam batas normal.
Intervensi
Rasional
Kaji factor penyebab dari situasi/keadaan individu/penyebab koma/penurunan perfusi jaringan dan kemungkinan penyebab peningkatan TIK.

Pertahankan kepala/leher pada posisi yang netral, usahakan dengan sedikit bantal. Hindari penggunaan bantal yang tinggi pada kepala.

Berikan periode istirahat antara perawatan dan batasi lamanya prosedur.



Berikan cairan intravena sesuai indikasi.



Berikan obat osmosis diuretic: manitol, furoscide.


Berikan steroid: dexamethason, methyl prednisone

Berikan analgesic narkotik: kodein.

Panas merupakan reflex dari hipotalamus. Peningkatan kebutuhan metabolism dan oksigen akan menunjang peningkatan TIK.


Perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan penekanan pada vena jugularis, dan menghambat aliran darah ke otak sehingga TIK meningkat.

Memberikan suasana yang tenang dapat mengurangi respon psikologis dan memberikan istirahat untuk mempertahankan TIK yang rendah.

Mengurangi edema serebral, peningkatan minimum pada minimum pada pembuluh darah, tekanan darah, dan TIK.
Duretik digunakan pada fase akutuntuk mengalirkan air dari sel otak dan mengurangi edema serebral dan TIK.

Untuk menurunkan inflamasi dan mengurangi edema jaringan.

Mengurangi nyeri



Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan akumulasi secret, penurunan kemampuan batuk, dan perubahan tingkat kesadaran.
Tujuan: dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan tindakan, jalan nafas kembali efektif.
Criteria hasil: secara subjektif sesak nafas (-), frekuensi nafas 16-20x/menit, tidak menggunakan otot bantu nafas, retraksi ICS (-), mengi (-/-), dapat mendemonstrasikan cara batuk efektif.
Intervensi
Rasional
Kaji fungsi paru, adanya bunyi nafas tambahan, perubahan irama dan kedalaman, penggunaan otot-otot pernafasan, warna, dan kekentalan sputum.




Atur pasisi fowler dan semifowler.




Ajarkan cara batuk efektif.






Lakukan fisioterapi dada; vibrilasi dada.


Penuhi hidrasi cairan via oral seperti minum air putih dan pertahankan asupan cairan 2500 ml/hari.


Lakukan pengisapan lender dijalan nafas.
Memantau dan mengatasi komplikasi potensial. Pengkajian fungsi pernafasan dengan interval yang teratur adalah penting karena pernafasan yang tidak efektif dan adanya kegagalan, akibat adanya kelemahan atau paralisis pada otot-otot interkostal dan difragma berkembang dengan cepat.

Peninggian kepala tempat tidur memudahkan pernafasan, meningkatkan ekspansi dada, dan meningkatkan batuk lebih efektif.

Klien berada pada risiko tinggi bila tidak dapat batuk dengan efektif untuk membersihkan jalan nafas dan mengalami kesulitan dalam menelan, sehingga menyebabkan aspirasi saliva dan mencetuskan gagal nafas akut.

Terapi fisik dada membantu meningkatkan batuk lebih efektif.

Pemenuhan cairan dapat mengencerkan mucus yang kental dan dapat membantu pemenuhan cairan yang banyak keluar dari tubuh.

Pengisapan mungkin diperlukan untuk mempertahankan kepatenan jalan nafas m,enjadi bersih.



Nyeri kepala yang berhubungan dengan iritasi selaput dan jaringan otak.
Tujuan: dalam waktu 3x24 jam keluhan nyeri berkurang/rasa sakit terkendali.
Criteria hasil: klien dapat tidur dengan tenang, wajah rileks, dank lien memverbalisasikan penurunan rasa sakit.
Intervensi
Rasional
Usahakan membuat lingkungan yang aman dan tenang.



Compress dingin (es) pada kepala.


Lakukan penatalaksanaan nyeri dengan metode distraksi dan relaksasi nafas dalam.

Lakukan latihan gerak aktif atau pasif sesuai kondisi dengan lembut dan hati-hati.


Kolaborasi pemberian analgesic.
Menurunkan reaksi terhadap ransangan eksternal atau kesensitifan terhadap cahaya dan menganjurkan klien untuk beristirahat.

Dapat menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak.

Membantu menurunkan (memutuskan ) stimulassi rasa nyeri.

Dapat membantu ralaksasi otot-otot yang tegang dan dapat menurunkan nyeri atau rasa tidak nyaman.

Pemberian analgesic dapat menurunkan rasa nyeri.



Risiko tinggi cedera yang berhubungan dengan adanya kejang berulang, fiksasi kurang optimal.
Tujuan: dalam waktu 3x24 jam , klien bebas dari cedera yang disebabkan oleh kejang dan penurunan kesadaran.
Criteria hassil: klien tidak mengalami cedera apabila ada kejang ebrulang.
Intervensi
Rasional
Monitor  kejang pada tangan, kaki, mulut, dan otot-otot muka lainnya.



Persiapkan lingkungan yang aman seperti batasan ranjang, papan pengaman, dan alat suction selalu berada dekat klien.

Pertahankan bedrest total selama fase akut.


Kolaborasi pemberian terapi; diazepam, fenobarbital.
Gambaran iritabilitas system saraf pusat memerlukan evaluasi yang sesuai dengan intervensi yang dapat untuk mencegah terjadinya komplikasi.

Melindungi klien bila kejang terjadi.



Mengurangi risiko jatuh/cidera jika terjadi vertigo dan ataksia.

Untuk mencegah atau mengurangi kejang.


Risiko gangguan nutrisi: kurang dari kebutuhan yang berhubungan dengan ketidakmampuan menelan, keadaan hipermetabolik.
Tujuan: kebutuhan nutrisi klien terpenuhi dalam waktu 5x24 jam.
Criteria hasil: turgor baik, asupan dapat masuk sesuai kebutuhan, terdapat kemampuan menelan, sonde dilepas, berat badan meningkat 1 kg, Hb dan albumin dalam batas normal.
Intervensi
Rasional
Observasi tekstur dan turgor kulit.


Lakukan oral higiene.


Observasi asupan dan keluaran.

Observasi posisi dan keberhasilan sonde.

Tentukan kemampuan klien dalam mengunyah, menelan dan refleks batuk.

Kaji kemampuan klien dalam menelan, batuk, dan adanya secret.


Auskultasi bising usus, amati penurunan atau hiperaktivitas bising usus.



Timbang berat badan sesuai indikasi.


Berikan makanan dengan cara meninggikan kepala.

Letakkan posisi kepala lebih tinggi pada waktu, selama dan sesudah makan.

Stimulasi bibir untuk menutup dan membuka mulut secara manual dengan menekan ringan di atas bibir/ di bawah dagu jika dibutuhkan.

Letakkan makanan pada daerah mulut yang tidak terganggu.



Berikan makan dengan perlahan pada lingkungan yang tenang.


Berikan makanan per oral setengah cair dan makanan lunak ketika klien dapat menelan air.

Anjurkan klien menggunakan sedotan untuk minum.


Anjurkan klien untuk berpartisifasi dalam program latihan /kegiatan.


Kolaborasi dalam memberikan cairan melalui IV atau makanan melalui selang.
Mengetahui status nutrisi klien.

Kebersihan mulut deapat merangsang nafsu  makan.

Mengetahui keseimbangan nutrisi klien.

Menghindari resiko infeksi/iritasi.

Untuk menetapkan jenis makanan yang akan diberikan pada klien.

Dengan mengkaji factor-faktor tersebut dapat menentukan kemampuan menelan klien dan mencegah risiko aspirasi.

Fungsi GI bergantung pada kerusakan otak. Bising usus menentukan respons pemberian makan atau terjadinya komplikasi, misalnya pada ileus.

Untuk mengevaluasi efektivitas dari asupan makanan.

Menurunkan risiko regurgitasi atau aspirasi.


Klien lebih mudah untuk menelan karena gaya gravitasi.

Membantu dalam melatih kembali sensorik dan meningkatkan control muscular.




Memberikan stimulasi sensorik (termasuk rasa kecap) yang dapat mencetuskan ussaha untuk menelan dan meningkatkan masukan.

Klien dapat berkonsentrasi pada mekanisme makan tanpa adanya distraksi dari luar.

Makanan lunak atau cair mudah untuk dikendalikan didalam mulut dan menurunkan terjadinya aspirasi.

Menguatkan otot fasial dan otot menelan dan menurunkan resiko terjadinya tersedak.

Dapat meningkatkan pelepasan endorphin dalam otak yang meningkatkan nafsu makan.

Untuk membersihkan cairan pengganti dan juga makanan jika klien tidak mampu untuk memasukkan segala sesuatu melalui mulut.


Risiko tinggi koping individu dan keluarga tidak efektif yang berhubungan dengan prognosis penyakit, perubahan psikososial, perubahan persepsi kognitif, perubahan actual dalam struktur dan fungsi, ketidakberdayaan, dan merasa tidak ada harapan.
Tujuan: dalam waktu 1x24 jam setelah intervensi harga diri klien meningkat.
Criteria hasil: mampu menyatakan/ mengomunikasikan dengan orang terdekat tentang situasi dan perubahan yang sedang terjadi, mampu menyatakan penerimaan diri terhadap situasi, mengakui dan menggabungkan perubahan kedalam konsep diri dengan cara yang akurat tanpa harga diri yang negative.
Intervensi
Rasional
Kaji perubahan darii gangguan persepsi dan hubungan dengan derajat ketidakmampuan.


Ajarkan klien untuk mengekspresikan perasaan, termasuk permusuhan dan kemarahan.

Bantu dan anjurkan perawatan yang baik dan memperbaiki kebiasaan.


Anjurkan orang-orang terdekat untuk mengijinkan klien melakukan sebanyak-banyaknya  hal-hal untuk dirinya.


Dukung perilaku/usaha seperti ppeningkatan minat/partisipasi dalam aktivitas rehabilitasi.

Dukung penggunaan alat-alat yang dapat membantu adaptasi klien, seperti tongkat, alat bantu jalan, tas panjang untuk kateter.


Monitor gangguan tidur peningkatan kesulitan konsentrasi, letargi, dan menarik diri.


Kolaborasi: rujuk pada ahli neuropsikologi dan konseling bila ada indikasi.
Menentukan bantuan untuk indiividu dalam menyusun rencana perawatan atau pemilihan intervensi.

Membantu klien untuk mengenal dan mulai menyesuaikan dengan perasaan tersebut.


Membantu meningkatkan perasaan harga diri dan mengendalikan lebih dari satu area kehidupan.

Menghidupkan kembali perasaan kemandirian dan membantu perkembangan harag diri serta memengaruhi proses rehabilitasi.

Klien dapat beradaptasi terhadap perubahan dan pengertian tentang peran individu masa mendatang.

Meningkatkan kemandirian untuk membantu pemenuhhan kebutuhan fisik dan menunjukkan posisi untuk lebih aktif dalam kegiatan social.

Dapat mengindikasikan terjadinya depresi umumnya terjadi sebagai pengaruh dari stroke, ketika inetrvensi dan evaluasi lebih lanjut diperlukan

Dapat memfasilitasi perubahan peran yang penting untuk  perkembangan perasaan.

Cemas yang berhubungan dengan kondisi sakit dan prognosis penyakit yang buruk
Tujuan : dalam waktu 1x24 jam setelah diberikan intervensi kecemasan hilang atau berkurang
Criteria hasil : mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi penyebab atau factor yang mempengaruhinya, dan menyatakan cemas berkurang
Intervensi
Rasonal
Bantu klien mengekspresikan perasaan marah, kehilangan, dan takut
Cemas berkelanjutan dapat memberikan dampak serangan jantung selanjutnya

Kaji tanda verbal dan non verbal kecemasan, dampingi klien, dan lakukan tundakan bila menunjukkan perilaku merusak
Reaksi verbal atau nonverbal dapat menunjukkan rasa agitasi, marah dan gelisah

Hindari konfrantasi
Konfrontasi dapat meningkatkan rasa marah, menurunkan kerja sama, dan mungkin memperlambat penyembuhan

Mulai melakukan tindakkan untuk mengurangi kecemasan. Beri lingkungan yang tenang dan suasana penuh istirahat
Mengurangi rangsangan eksternal yang tidak perlu

Orientasikan klien terhadap prosedur rutin dan aktivitas yang diharapkan

Orientasi dapat menurunkan kecemasan










BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Ø Meningitis adalah radang pada meningen/membrane (selaput) yang mengelilingi otak dan medulla spinalis.
Ø Penyebab-penyebab dari meningitis meliputi: Bakteri, Virus, Organisme jamur.
Ø Meningitis diklasifikasikan sesuai dengan factor penyebabnya: Asepsis, Sepsis, Tuberkulosa
Ø Asuhan keperawatan meliputi pengkajian, diagnose keperawatan, intervensi, implementasi, dan evaluasi.
Ø Pengkajian meliputi: anamnesa: identitas klien, keluhan utama, riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan diagnostic.
Ø Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien atau orang tua membawa anaknya untuk meminta pertolongan kesehatan adalah panas badan tinggi, kejang, dan penurunan tingkat kesadaran.
Ø Diagnosa keperawatan ditegakkan berdasarkan gejala yang muncul saat pengkajian dilakukan.

B.    SARAN
Demikian makalah ini kami susun sebagaimana mestinya semoga bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi tim penyusun dan semua mahasiswa dan mahasiswi kesehatan pada umumnya. Saran kami, lebih banyak membaca untuk meningkatkan pengetahuan.
Kami sebagai penyusun menyadari akan keterbatasan kemampuan yang menyebabkan kekurangsempurnaan dalam makalah ini, baik dari segi isi maupun materi, bahasa dan lain sebagainya. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk perbaikan-perbaikan selanjutnya agar makalah selanjutnya dapat lebih baik.